(Fiksi) Pangeran Elder dan Kisah Tak Usai | bianglala

(Fiksi) Pangeran Elder dan Kisah Tak Usai

Jumat, 28 Maret 2014
sumber

“Kau menyuruhku membantumu melanggar sesuatu yang sudah ditakdirkan? Kau gila!”

          Aku sedikit tersentak melihat ekspresi penyihir itu. Raut tuanya yang penuh keramahan kini berubah menjadi kemerahan. Matanya menatapku begitu tajam. Tapi apa boleh buat? Hanya ia yang dapat membantuku.

“Tapi kumohon, bantulah aku” pintaku memelas

“Tentu saja aku akan membantumu kalau yang kau minta bukan hal gila seperti itu!”

“Tapi aku jatuh cinta pada gadis itu”

“Dan kau tahu jatuh cintamu tak masuk akal”  jawab kakek tua di hadapanku, nada suaranya mulai menurun.

“Tapi gadis itu membuatku jatuh begitu saja, mengertilah, kek” sekali lagi aku memelas, kutatap takzim garis wajahnya yang penuh kebijakan.

“Tapi kau selalu bisa memilih, anakku. Kau selalu bisa memilih hendak terus terperosok dalam lubang tempatmu jatuh, atau kembali dan meneruskan perjalananmu. Aku sungguh mengerti kau tak bisa mengendalikan hatimu yang jatuh, tapi percayalah, anakku, kau harus tetap menggunakan bagian lain dalam dirimu, gunakan akal sehatmu” Ucapnya panjang lebar, matanya menerawang jauh entah kemana.

“Tapi gadis itu telah mengambil seluruh akal sehatku. Kumohon, kumohon beri aku kesempatan kali ini
saja” rengekku sambil berlutut di kakinya. Penyihir tua di hadapanku terdiam.


                                                                                ***

“Percayalah padaku, Nona. Percayalah” aku hampir kehabisan kata-kata untuk menjelaskan semuanya pada gadis ini, dan ia belum juga mau percaya.

“Kau benar-benar gila, Tuan. Bayangkan saja ada lelaki yang tertangkap sedang mengobrak-abrik kamarku, lantas menyuruhku percaya bahwa ia adalah seorang pangeran dari negeri antah berantah dalam sebuah buku dongeng? Kau gila!”

“Tapi sungguh, ayolah… kenapa ada banyak sekali yang menyebutku gila? Aku tak gila, Nona. Percayalah! Aku pangeran Elder. Bukankah kau menyukainya? Bukankah kau berharap ia sungguhan ada? Ini aku, Nona, aku sungguh ada” jelasku memaksa, gadis itu kini terdiam.

“Tap…tapi, bagaimana kau bisa ada di sini? Bagaimana bisa?” Akhirnya, kurasa ia mulai mempercayaiku.

“Tentu saja. Kakek Robin yang membantuku keluar dari dunia dalam buku itu”

“Kakek Robin? Kakek Robin sang penyihir bijak? Dia….dia juga sungguhan ada?”

“Tentu, Nona. Dalam dunia buku itu, kami sungguhan ada. Aku mendatangi rumah tuanya di tengah hutan Ribiz, lantas memohon padanya agar aku diberi kesempatan untuk keluar dari dunia buku itu dan menjadi manusia sepertimu”

“Lantas?”  tanya gadis itu, matanya begitu takzim mendengar ceritaku.

“Lantas ia marah mendengar permintaanku. Tapi aku memaksanya. Kubilang aku jatuh hati pada seorang gadis yang matanya begitu teduh dan suaranya menyejukkan seperti gemericik air. Aku memaksanya memberi jalan agar aku bisa menemui gadis itu. Akhirnya ia luluh. Kakek tua itu bersedia membuatkan aku jalan agar dapat berpindah keduniamu ini, Nona, ia memberiku kesempatan menjadi manusia.”

“Gadis? Siapa yang kau maksud gadis itu?” tanyanya

“tentu saja engkau, Nona. Aku jatuh hati padamu, aku berulang kali jatuh tiap kau membuka dan
membaca buku dongeng itu” jelasku tersenyum, namun ia hanya diam, matanya justru nampak berair.

“Kau…kau keluar dari negeri dongeng itu untuk menjemputku? Lantas? Lantas bagaimana akhir dongeng itu? Bagaimana dengan Putri Ayana?”

“Putri Ayana? Aku tak menyukainya, Nona. Ia tak punya mata seteduh milikmu, senyumnya tak seindah milikmu. Aku tak ingin bersamanya. Aku pergi dan membiarkan kisah dalam buku itu tak pernah menemui usai. Aku ingin menyelesaikan kisah itu bersamamu saja, Nona. Ayo, ikutlah denganku”

“Kau gila, tuan. Kau telah merusak jalan cerita dongeng itu!”

“Hey, kenapa kau menyalahkanku? Bukankah harusnya kau tahu aku dengan putri Ayana hanya sepasang kekasih yang dijodohkan oleh Raja dan Ratu? Bukankah hati selalu punya kesempatan untuk memilih hati mana yang akan ia singgahi? Aku tak menyukainya. Ayolah, Nona.”

                                                                               ***

             Malam semakin pekat, angin menelisik lewat jendela-jendela yang terbuka, purnama merangkak mengambil alih urusan perasaan kami. Kakek Robin tiba-tiba saja muncul di hadapanku dan Nona Falla ketika itu. Tampak nona Falla begitu terkejut. Aku terdiam, aku paham betul apa maksud kedatangannya.

“Kau tahu, anakku. Sepertihalnya sebuah dongeng yang tertulis dengan alur indahnya, begitu pulalah
kehidupan. Ia memiliki jalannya sendiri. Ia memiliki alurnya sendiri. Ditulis dengan sebegitu menakjubkannya oleh yang maha memiliki kehidupan. Dan kau telah memilih merusaknya”  kakek Robin berucap, lirih dan menggetarkan. Lagi-lagi, ia menampakkan garis wajahnya yang tegas dan bijak.

“Tapi kupikir nona Falla menyukaiku sebagaimana ia selalu menampakkan senyum menawannya ketika membaca tokohku dalam buku itu” aku menjawab, suaraku tak kalah lirih dengan suara kakek Robin.

“Tapi pahamilah, rasa suka hanyalah suka. Kalau kau berhasil membuatnya tersenyum, bukan berati kau telah membuatnya jatuh hati”  kalimat kakek Robin cukup membuatku terdiam.

“Purnama telah nampak, pangeran Elder. Dan kau tak berhasil membujuk nona Falla untuk kau ajak kembali ke negeri kita. Maka, kau paham apa yang akan kau terima, bukan?”  aku pias, pasrah mendengar perkataan kakek Robin.

“Nona Falla, pangeran Elder dengan angkuh telah berlaku bodoh. Ia menukar segalanya demi dirimu. Ia membiarkan kisah dalam buku dongeng itu berakhir menyakitkan.  Ia membuat putri Ayana dan seisi istana berduka, hingga akhirnya putri Ayana meminum racun lalu tidur untuk selamanya. Dan, sesuai perjanjian yang dulu ia setujui sendiri, aku akan mengubahnya menjadi pohon Elder. Tananmlah ia di manapun tempat yang kau inginkan, biarkan ia tetap hidup bersamamu meski bukan sebagai pasanganmu. Lanjutkan hidupmu dan berbahagialah bersama lelaki yang selama ini kau cintai. Biarkan ia mempertanggung jawabkan pilihannya, buarkan keangkuhannya menjadi daun-daun kering dalam dirinya yang tak akan bisa meneduhkan siapapun.”

0 jejak: