Pagi, entah yang keberapa
sejak wajah gadis itu selalu jadi yang pertama kuingat di tiap bangunku. Gadis
berkacamata kesukaanku. Tak ada yang istimewa pagi ini, kamarku masih sama,
posisi bantal yang semalam kutaruh di kepala sekarang pindah sampai kaki.
Seragam abu-abu putih tergantung rapi di belakang pintu, dan, ibu. Gurat-gurat
dinding kamarku bahkan hafal betul teriakannya tiap membangunkanku. Yang
berbeda hanya satu, jam dinding yang menempel di tembok kamarku. Berkali-kali
aku mengerjap, memastikan tak salah membaca angkanya. Sial! Aku kesiangan
(lagi).
“kamu
nggak sarapan dulu?” ibu bertanya melihatku tergesa keluar dari
kamar. Aku sudah rapi sekarang, hanya saja karena sepatuku belum kering,
jadilah kupakai sepatu kakakku. Tinggal menyisir rambut. Itu bisa kulakukan nanti-nanti,
rambut lelaki selalu cukup disisir dengan jari, bukan?
“enggak,
takut terlambat, Bu” jawabku cepat sambil mencium tangan ibu.
Aku bergegas, berusaha
mengemudi dan sampai di sekolah secepat yang kubisa, sayangnya, meski tak
semacet ibu kota, pagi-pagi seperti ini jalanan di kotaku lumayan semrawut. Ini
membuatku sedikit kesulitan.
Hanya beberapa menit perjalananku
selesai, aku sampai di sebuah gedung dengan tembok bercat kekuningan. Tidak
bertingkat tinggi, tapi cukup membuatmu berkeringat kalau kau menggunakan kedua
kakimu berkeliling mengitarinya. Gedung yang orang bilang, semua datang kesini
untuk menuntut ilmu. Gedung sekolahku. Syukurlah, aku beruntung kali ini
gerbangnya belum ditutup. Nampaknya alarm
bel di sekolahku sedang tidak beres. Gumamku.
Aku berjalan menuju ruang
kelas sembari melamun. Apa tadi yang kubilang? Datang kesini untuk menuntut
ilmu? Dari sekian alasanku datang ke sekolah, sebenarnya itu entah berada di
urutan keberapa. Yang utama jelas, gadis berkacamata kesukaanku. Tiara.
Pagi ini, seperti biasa, ia
selalu datang lebih awal dariku. Duduk di bangku barisan tengah, urutan kedua.
Posisi favoritnya. Rambutnya diikat rapi, dia tetap menawan meski sebenarnya,
aku lebih senang melihat rambut panjangnya dibiarkan tergerai saja.
Sebagai anak yang selalu
datang paling siang, aku tak pernah punya posisi duduk yang pasti. Yang mana
yang sisa saja kutempati. Tapi satu hal, aku selalu senang duduk di belakang.
Orang berpikiran alasanku tentu karena di belakang jauh dari pandangan guru,
mudah menyontek, dan entahlah apa. Tapi tidak sebenarnya, aku senang duduk di
belakang karena dengan begitu, aku lebih leluasa memandangi gadis berkacamataku
yang duduk di depan. Itu saja.
“woy,
santai bener jam segini baru dateng. Belajar belum lo?”
sapa Deni, teman sebangkuku pagi ini.
“belajar
apa?”
“ya
ampun, nyesel gue sebangku sama lo. Pagi ini kita ulangan matika.”
Deni menjelaskan. Dia pikir aku tak menyesal duduk dengan anak yang
peringkatnya selalu lima besar dari belakang ini?
“ulangan
lagi? Lupa gue” sahutku bertanya, retoris sebenarnya.
“aduh Lan lo
sekolah yang diinget apa sih? Masih mending gue nggak belajar tapi kan inget!”
Aku hanya tertawa, dalam
hati menjawab tanya Deni. Tentu saja
gadis berkacamataku.
***
Pukul setengah lima sore,
bel pertanda pulang sudah berbunyi sejak beberapa menit yang lalu, ada
pelajaran tambahan. Aku sengaja tidak langsung pulang, duduk-duduk di depan
kelas sembari menunggu parkiran sepi, malas sekali kalau harus rusuh berebut
mengeluarkan kendaraan.
Sampai suatu ketika aku
menghirup aroma yang tak asing, ya, aku sungguh mengenali harum ini. Ini parfum
milik gadis berkacamataku. Reflek, kepalaku celingukkan mencarinya, sampai
mataku menangkap sosok itu, sosok yang kuhafal betul detailnya dari ujung kaki
sampai kepala. Gadis itu mendekat, aku mulai berkeringat.
“Alan belum
pulang?” tanyanya menyapa, rautnya sungguh ramah meski aku melihat gurat
bingung diwajahnya.
“belum,
parkiran masih rame” jawabku
“kamu
sendiri ngapain balik lagi?” sekarang gantian aku yang
bertanya.
“ada
yang ketinggalan” gadis itu menjawab, senyumnya mengembang
begitu cantik, kakinya bergegas memasuki ruang kelas. Ah, aku suka sekali senyum tadi.
Tak lama
gadis itu keluar, raut kebingungannya makin jelas terlihat. Ia bahkan
mengeluarkan seluruh isi tas nya.
“barangnya
nggak ketemu ya? Kamu cari apa sih?” tanyaku ikut khawatir.
“buku,
buku harian aku. Bahaya kalau sampai ada yang nemu”
“tadi
kamu taruh di mana?”
“terakhir
di laci, dan kayaknya aku lupa masukkin ke tas. Duh ceroboh banget!”
Ara,
begitu ia dipanggil, raut bingungnya kini berganti kesedihan, aku bergegas
membantunya mencari, satu persatu kutengok laci meja, tak ada. Saat ini Ara
hampir menangis, sekarang justru aku yang bingung harus bagaimana.
“besok
pas anak-anak pada dateng kita tanya, barangkali ada yang nemuin. Sekarang
pulang dulu, Ra, udah sore” ucapku
Ara terdiam sejenak, matanya
mengerjap-ngerjap menimbang jawaban. Lucu sekali melihatnya melakukan itu.
“iya
deh”
Ara akhirnya memutuskan, nada suaranya seperti terpaksa. Meskipun wajah
sendunya tetap menyenangkan di lihat, aku sungguh benci melihatnya seperti ini.
***
Sudah
larut, mataku belum mau terpejam juga. Entahlah, aku tak sabar menunggu besok
pagi. Kubaca lagi suatu halaman di buku harian milik Ara. Ya, buku harian Ara,
buku itu ada padaku. Tadi Ara yang meninggalkannya begitu saja di laci,
diam-diam kuambil. Aku hanya penasaran, setelah selesai membaca besok pastiku
kembalikan, jadi aku bukan mencurinya.
Bahagia
sekali rasanya mebaca salah satu halaman di buku harian ini, Ara menuliskan
namaku di sana.
5 oktober 2013
Hari ini Alan datang hampir
terlambat (lagi). Anak itu, seperti biasa, rambutnya semacam lupa disisir. Ia juga
ganti sepatu hari ini, bukan yang biasanya dipakai. Seragamnya sedikit tidak
rapi, ia bahkan lupa mengenakan sabuk, tapi tak apa, aku tetap suka padanya :)
Ya
Tuhan, gadis berkacamataku menyukaiku? Ah, senang sekali rasanya ketika yang
kita sukai diam-diam ternyata juga menyukai kita.
*tamat*
Bantul, 6 Oktober 2013
0 jejak:
Posting Komentar