Hujan lebat di luar sana
belum juga reda, ia jadi saksi atas apa yang kulakukan malam ini. Aku terduduk
di sebuah kursi tua peninggalan ibuku, lengang, tak ada suara selain riuh bulir
air yang jatuh mengetuk-ngetuk atap rumah serta petir yang sesekali menggelegar.
Aku menatap sosok di
hadapanku, matanya tajam menyoroti sebilah pisau serta tanganku yang masih
bersimbah darah.
“jangan
menatapku seperti itu!” hentakku padanya, Ia hanya tersenyum,
senyum yang sama sekali tidak aku senangi.
“berhentiah
menatapku seolah-olah aku manusia jahat!” sekali lagi, kali
ini suaraku makin meninggi.
“kau
lebih dari jahat” sosok di hadapanku menjawab, suaranya begitu tenang.
“aku
bukan penjahat!”
“ya,
kau penjahat” sungguh, aku seperti ingin menamparnya,
memukulnya, atau apapun yang bisa membuatnya berhenti bicara seperti itu.
“Aku
hanya korban dari semua ini! Gadis itu yang jahat!”
“Ia
gadis yang baik”
“Tidak,
gadis itu tega membuat lelaki yang aku kejar bertahun-tahun justru menjatuhkan
hati padanya!” suaraku bergetar, aku benci mengatakannya.
“lelaki
itu memilihnya karena ia memang lebih baik darimu”
“tapi
aku telah berkorban banyak hal, termasuk menghabiskan bertahun-tahun waktuku
untuk menunggunya, lelaki kesukaanku. Dan gadis yang kau bilang baik itu dengan
tega merebut. Aku sungguh membencinya, ia sungguh penjahat bagiku!” aku
menangis, sungguh pahit mengingat kembali kenyataan itu.
“kau
lah yang bodoh, kau menunggu seseorang yang bahkan tak melangkah ke arahmu”
“aku
tidak bodoh! Aku mencintainya! Ia harus jadi milikku, bukan gadis itu!”
“ayolah
wanita jahat yang egois, kau harus melepas, Tuhan mungkin tidak menuliskann
namamu sebagai takdirnya, dan kau harus terima. Yang memang milikmu pasti jadi
milikmu.”
“diam!
Bicaramu itu percuma!”
“ya,
percuma. Karena kau telah tega membunuhnya. Kau membunuh gadis kecintaan
lelakimu itu” sungguh kalimat terakhirnya membuatku muak!
Dalam situasi menyakitkan seperti ini, ia justru membuat kesabaranku habis.
Aku bergegas menghapus air
hujan yang mengalir dari pelupuk mataku, lantas berdiri. Kulemparkan kursi tua
yang kududuki tadi ke arah sosok di hadapanku, aku benci mendengarnya bicara.
Kursi itu tepat mengenainya, membuatnya pecah berkeping. Kini cermin itu takkan
bicara lagi.
3 jejak:
Jodoh, rejeki, itu di tangan Tuhan. Kalau udah di tangan teman, namanya Cari Lagi..
Loving this!
Kereeennnn!!!
Bagaimanapun yang namanya konflik batin selalu menarik untuk dijadikan fiksi.
wuah, keren ceritanya...
Posting Komentar