Saat ini rasanya lelah sekali, air mataku sudah habis setelah
semalaman aku tak henti menangis, entah berapa kali pula tangisku diiringi
acara pingsan. Pukul setengah delapan pagi, itu berarti setengah jam lagi acara
pemakaman akan dimulai. Para pelayatpun makin ramai berdatangan, wajah-wajah
duka itu, ucapan-ucapan bela sungkawa, semua justru merubuhkan kuatku. Bukan
tak berterima kasih, hanya saja semakin melihat dan mendengarnya semakin sakit
pula dadaku. Lamat-lamat kupandangi wajah lembut malaikat kesayangan di
hadapanku.
“Bangunlah, Nak…”
“Bangunlah meski dalam
hidupmu, Ibu harus jadi satu-satunya yang kau benci, bangunlah…” tangisku lagi-lagi pecah, tak
henti kuusap wajah cantik milik putriku.
Sulit sekali rasanya mencoba kuat, mencoba agar jangan sampai
membiarkan air mataku menjatuhi malaikat di hadapanku ini, sebab bagiku,
kehilangannya sama saja membuatku kehilangan diri sendiri.
Sedang gigil yang menyergap ini, entah bagaimana bisa, perginya,
berpulangnya ia pada yang sebenar-benarnya tempat berpulang, membuat kehilangan
serupa kemarau paling gigil, sedang hujan menjelma retak-retak kerontang pada
sebuah ruang kecil di rongga dada sebelah kiri.
Tangisku makin pecah kala mengingat kejadian semalam, kejadian
sebelum Dina, malaikatku ini dijemput-Nya.
***
Malam semakin larut, entah saat ini tepatnya pukul berapa,
mungkin hampir pukul dua. Berkali-kali menengok jam akan semakin membuat cemas
di hatiku meningkat. Yang jelas, saat ini sudah ada tiga cangkir kopi
dihadapanku. Satu cangkir sudah lama dingin, uap hangatnya mungkin tersapu
angin. Sedang dua cangkir lainnya telah kosong, hanya bersisa ampas hitam
yang kata kebanyakan orang rasanya pahit. Aku tak percaya itu, sebab bagiku,
diabaikan ketika usia mulai senja adalah sepahit-pahitnya rasa.
Kreeeeek….
Tak lama, kudengar suara pintu tua berderit, pertanda ada yang membukanya.
Senyumku seketika mengembang, malaikatku akhirnya pulang. Bergegas aku bangun
dari kursi dan menjemputnya ke ruang depan.
“kau kemana saja?
Kenapa pulang begitu larut? Kau baik-baik saja, bukan?”bagi seorang ibu, tentu pertanyaan seperti itu
jadi yang pertama terbesit di kepalaku.
“ke rumah teman” jawabnya cepat sambil bergegas masuk
kamar. Ia bahkan sengaja tak memalingkan pandangannya ke arahku.
“nak, ini kan hari
ulang tahunmu, tak inginkah makan malam dengan Ibu sebentar saja? Tadi sore Ibu
masak masakan kesukaanmu, sudah tak hangatkan juga tadi, pulangmu terlalu
larut.” Ajakku perlahan.
“makan sendiri saja,
aku sudah makan dengan teman-temanku”
“tapi Ibu sengaja
menunggu selarut ini karena ingin makan denganmu, Dina”
“itu salahmu,
bukankah tak ada yang memintamu menunggu?”
“tapi Dina, sebentaaar
saja, temani Ibu makan” pintaku
memelas.
Dina menatap sebal ke arahku, langkahnya mulai mendekat.
“apa yang kau bilang
tadi? Kau biarkan masa kecilku habis digerogoti kesendirian dan sekarang kau
mau aku menemanimu makan?” ucapnya.
“tapi nak, permintaan
Ibu sederhana, jangan kau bawa-bawa masalah itu”dadaku mulai nyeri mendengar ucapan Dina tadi.
“iya, sederhana.
Seperti ketika tujuh belas tahun lalu aku minta kau bacakan dongeng sebelum
tidur, dan kau tak pernah mau mengabulkannya” suara Dina mulai meninggi.
“bukan tak mau, Ibu
hanya..”
“sibuk! Kau sibuk
bersenang-senang dengan para pria tak dikenal yang kau buat senang itu!” hentak Dina memotong bicaraku.
“nak, apa maksudmu
bicara begitu?”
“ya Tuhan, sudahlah
Bu, aku sudah bukan gadis berkepang dua yang dulu selalu kau bohongi. Bukankah
kau tahu usiaku tepat dua puluh empat tahun sekarang? Aku paham semuanya!” suara Dina makin meninggi,
wajahnya memerah, tapi aku seperti melihat ada luka di matanya. Menyakitkan
melihatnya seperti itu.
“nak, kau ini kenapa?
Kenapa tabiatmu jadi sekeras ini? Mana Dina Ibu yang dulu?” sungguh dadaku mulai sesak, seperti ada
air hangat yang merembas di sudut-sudut mataku.
“Hilang! Dina yang
dulu sudah lama hilang sejak ia paham, wanita yang mengakui diri sebagai Ibu
dengan tega membiarkan kotoran mendarah daging di tubuh putrinya. Berkali-kali
menipu putri polosnya. Sekarang, ketika waktu telah mengambil alih perihal masa
dan usia, ketika pria-pria itu tak lagi tertarik dengan tubuh keriputnya, ia
memutuskan berhenti lalu mencari putri kecilnya yang dulu?” kalimat-kalimat menyakitkan itu keluar
begitu saja dari mulut Dina, putriku. Kornea matanya seolah memancarkan
kebencian yang begitu dalam, sungguh menyakitkan menatapnya.
Ya Tuhan, aku sempurna menangis sekarang, di hadapan seseorang
yang kuanggap malaikat ini. Setelah bertahun-tahun kucoba kuat menghadapi sikap
ganjilnya dengan banyak tanda tanya, sekarang aku justru begitu hancur saat
paham alasannya. Dina, malaikatku, ia sungguh membenciku.
Aku tahu, bahkan tanpa perkataan-perkataan menghinakan itupun
wanita tuna susila sepertiku memang sudah hina, tapi tak pahamkah ia bahwa aku
melakukannya semata karena aku ingin kebutuhannya tercukupi? Keinginannya
terpenuhi?
Aku tahu, bahkan apa saja yang kulakukan tak akan pernah bisa
menukar waktu dan masa-masa kecilnya yang penuh kesendirian itu, tapi bisakah
ia memahami bahwa meski selalu gagal dalam meruntuhkan dinding bencinya,
setidaknya aku telah mengusahakannya.
Nafasku begitu sesak, seperti ada nyeri yang sangat di rongga
dadaku, tubuhku kaku mematung, membiarkan air mataku tumpah, membiarkan
malaikatku yang kadung marah itu pergi begitu saja entah kemana, ia berlari,
membawa banyak kebencian terhadapku, Ibunya sendiri.
Tepat ketika aku hendak bergegas mengejarnya, kudengar teriakan
seorang gadis disertai riuh klakson. Tepat saat itu juga ada sesuatu yang jatuh
berhamburan, tanganku tak sengaja menyambar gelas kopi, jantungku terhentak.
Dina, sekilas senyumnya berkelebat di kepala.
*tamat*
8 jejak:
Bagu sekali ceritanya..
Bikin air mata ini tak mampu kubendung.. suwer..
Kamu pintar mengajak dan mengoyak ngoyak emosi pembaca..
Semangat menulis ya dik... kakak senang skali dengan tulisanmu,..
Haduuuh Ikaa sampe berkaca-kaca aku bacanyaa :'(
baguuss banget jalan cerita dan konfliknya,,suka deh sama ceritanya :))
ceritanya sangat menarik
bagus sekali #ambiltisu
aku suka kata-kataanya ih :(
hihi, aku terharu loh dipuji begini.
makasih loh mas makasiiih :))
huehehe nggak niat bikin sedih loh ini :p
makasiiih udah bacaa :D
makasiiih :D
makasiiih, mbapita lebih jago ah kalo urusan kata-kata :))
Posting Komentar